Kehilanganmu Menoreh Luka


KEHILANGAN? Ya, kehilangan memberi warna tersendiri. Dan pasti dirasakan oleh setiap orang. Entahlah, apakah kehilangan orang tua karena diterjang banjir bandang, kehilangan sanak saudara karena ditembak mati dalam perang, kehilangan om dan tante karena bunuh diri lantaran anak gadisnya kabur bersama kekasih tercinta, dan atau kehilangan harga diri. Pokoknya, kehilangan akan menoreh luka yang amat dalam.

Seperti kehilanganku kali ini, anakku mudik duluan dalam warna tersendiri. Aku kehilanganmu membuatku bukan saja sedih, pedih, akan tetapi kehilangan itu juga bisa menoreh luka. Setumpuk beban bergelut dalam benakku saat ini. Terasa begitu menyiksa bahkan memaksa aku  untuk mencoba tersenyum tegar yang luruh sekaligus berusaha sampai mogok makan. Ya, kontradiksi sekali ketika cinta bersemi, dunia terasa milik kita berdua. Ya, ketika makan ingat kamu, ketika ke wc ingat kamu dan ketika hendak tidur juga ingat kamu. Tapi kini ke manakah semua itu pergi? Pertanyaan mendasar yang perlu digugat kembali terusik kalau mengingat semua itu.

Entahlah, yang jelas, tentang kehilangan yang menjadi dominan di sini terpatri indah pada pribadiku, yakni “Kehilanganmu”. Aku teringat puisi sahabatku bernama Pujangga Asakota: /Kehilanganmu pedihku/sepiku adalah lukaku//. /Andai jejakmu menjauh/telah kusiapkan airmata untukmu/andai langkahmu terhenti/berpalinglah karena sejumput luka yang kau tinggalkan//. Iya, itulah yang kurasakan saat ini.

Sementara itu, pada sajak “Rindu”-nya  juga karya Pujangga Asakota, mendiskripsi suasana batin aku-lirik tentang kerinduannya terhadap dia-lirik. Dengan caranya yang khas, ia memposisikan dirinya sebagai penggelisah, perindu, sekaligus sebagai pencari yang ujung-ujungnya dihadapkan pada pernyataan berupa pertanyaan, “Mengapa cinta harus dinikmati kalau pada akhirnya dikhianati? Meskikah aku-lirik menunggu dan menunggu tanpa batas waktu, sementara dia-lirik berselingkuh di sana? Mungkinkah dia-lirik akan kembali merajut cinta agar bersama lagi? Dan seabrek pertanyaan lainnya.

Semakin aku cermati makna puisi tersebut semakin banyak pertanyaan yang dihadirkan justru membuat aku sedih dan gelisah. Kesedihan dan kegelisahan itu terlukis dalam bait pertama puisi Pujangga Asakota : /Pagi merayap beku/tubuh rapuhku menggeliat kedinginan/dalam asa sunyiku/saat kutunggu sejumput rinduku//. Dan meski tak kunjung ada jawaban, kisah-kasih di masa lalu terekam jelas dalam sanubari sehingga sesewaktu akan terngiang-ngiang di telingaku tentang anakku yang mudik belum waktunya. Perhatikan bait ke-4 :/Sejak jejakmu tiada berpaling /nostalgiamu sempat kunikmati/akankah kembali//.

Sekali lagi, di sini penyair melukiskan bentuk pencitraan dari penggelisah (baca aku-lirik) karena gejolak batinnya terombang-ambing terkait kehilanganmu (dia-lirik) yang menyebabkan aku-lirik senantiasa didera gelisah oleh polah tingkah si dia yang tak kunjung datang kabar berita dari seberang. Pertanyaan mendasar untuk itu, adalah apakah sebab-akibat dalam kehilangan itu? Di sini  aku sebagai penikmat betul-betul diberi ruang yang luas untuk memprediksi faktor sebab-musabab dalam kehilangan anakku yang mudik tanpa permisi sama Abahnya.

Dari sini pulalah, aku  boleh acungi jempol buat Pujangga Asakota karena dia selalu memberi dan memperhatikan lingkungan sekitar, kemudian menggugat segala yang menjadi keprihatinannya dalam kehidupan orang-orang di sekitarnya terutama perkara kehilangan pada umumnya dan kehilangan kekasih anakku khususnya. Segala problem di lingkungan seperti cinta misalnya, didalami, diendapkan, kemudian diangkat dalam dunia cipta. Apalagi jika yang dikemas bermuara pada hati dan jiwa. Ya, insya Allah akan memberi nilai yang terbaik, baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain.

Mengapa nian? Pasalnya, mencintai adalah kerelaan memberi tanpa mengharapkan imbalan apa pun. Seorang pecinta sejati adalah orang yang suka memberi dan hanya mengharap balasan kebaikan itu dari Allah SWT dan bukan dari manusia. Manusia tidak pernah bermimpi untuk jadi manusia. Tetapi karena cinta-NYA, Allah memberiku anak semata wayang meski kemudian anakku dimudikkan lebih dahulu olehNYA Sang Pemberi Cinta Sejati.(***)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jika Kau Ingin Menangis, Ya Menangislah.

Kami Bukan Sekedar Sahabat Atau Teman Belaka!

Sombong, Ngakunya Udah Ngak Butuh Lagi Masyarakat Sekarang Masih Butuh Juga.