Mari Menganyam Kisah Cinta dalam Hidup


Kisah-kasih dalam romantika hidup umat manusia di bawah kolong langit ini, tak pernah pupus, alias termakan arus zaman. Boleh jadi, itulah proses hidup. Sebentar ada bahagia yang dirasa, sementara, sebentar lagi ada duka lara yang menggores kalbu. Bagaimana tidak? Ketika  merajut cinta misalnya, selalu saja ada dusta (ingat syair lagu: Ada dusta di antara kita). Ini berarti yang bersemayam dalam hati adalah rasa kebersamaan semu. Lalu, rasa kebersamaan sejati dalam cinta, disimpan di mana? Nah di sinilah, dibutuhkan upaya jitu untuk segera meneropong sebab-musababnya guna mengurangi kepedihan hati. Iya, kalau boleh disimpulkan, dalam hidup,  hanya ada dua alternatif hidup, ‘BAHAGIA dan DERITA’ ATAU ‘SUSAH DAN SENANG’.

Bagaimana cara kita untuk mencari berupa langkah praktis antisipasi masalah, guna mengatasi kehadiran rasa susah, dalam artian, susahnya kurang dan dominan yang diperoleh adalah bahagia? Setiap individu pasti  memiliki jawaban pastinya  dan sering disimpan baik-baik di saku hati pemilik cinta. Seperti Saudara kita Jumini Nizam dari Jambi, dia menuntaskan masalah dengan menoreh isi hati dalam bentuk tulisan yang amat bermanfaat buat kita, manakala kita mau mengapresiasinya, praktis ujungnya bermanfaat dan dapat dikonsumsikan dalam keseharian.

Saudara kita Jumini, kali ini, menganyam kisah , bertajuk: “Senja Kemarin” Untuk apa Mbak Jumini mengakatnya untuk diungkit? Iya, meski fakta yang diungkit adalah fakta imajiner (fakta atau data yang ada dalam otak penyairnya) tokh, fakta-fakta detailnya diterang- jelaskannya, hingga bermanfaat bua kita sebagai penikmat, dalam artian, ada nilai yang perlu kita timba, dari kisah-kasihnya itu. Mari kita apresiasi puisi prosaisnya berikut ini !Inilah selengkapnya!

Sayang, senja ini aku kembali melarungi sunyi sendiri. Entah kenapa, tiba-tiba aku merasakan engkau terjun dari rumi paling tinggi, lalu terjatuh tepat di atas pangkuanku. Seperti tiga purnama sebelum ini, biasanya kita menikmati senja berdua sambil bersulang puisi. Lalu meracik bumbu-bumbu asmara untuk menjadikannya hidangan disantap malam kita.

 Awalnya aku hanya mengira itu semua semu, sebab hadirmu yang hanya sebatas bisik-bisik semilir dari tanah pesisir, lalu hinggap di runguku sebelum kau berlabuh pada jiwa gulitaku.

 Masihkah, ada musim yang dapat kita lalui berdua? Menganyam kisah di penghujung masa, sebagai kita adalah pecinta sejati, yang tak pendar oleh gemerlap bintang di angkasa.

 Aku masih setia di sini, sayang, hingga masa yang kau janjikan tiba, dan kita kembali menjadi pemahat cinta paling legendaris. Meski, tak seorang pun mampu memahaminya.

Hanya empat ide dalam empat bait. Alur kisahnya, menggugah penikmat. Bagimana tidak?  Deskripsi detail atas fakta penunjangnya begitu mencair. Lancar bagai air mengalir. Apalagi didukung oleh pemanfaatan majas-majas segarnya, hingga gilirannya kita sebagai penikmat akan menghadirkan decak kagum seperti ini,” Luar biasa, sukses”.

Iya, ‘senja kemarin’( settingnya). Ada kisah, yang dirasakan ‘tokoh aku’ (aku yang diceritakan). Tokoh ‘dia’ (dia yang diceritakan yaitu ‘engkau’) terjatuh di pangkuan tokoh ‘aku’. Bagaimana tokoh ‘aku’ merasakan kehadiran tokoh ‘engkau’ (dia)?  Ternyata:/ Seperti tiga purnama sebelum ini, biasanya kita menikmati senja berdua sambil bersulang puisi//. Sampai di sini, kita sebagai penikmat, akan mengatakan, begitu romantisnya jumpa darat di antara keduanya. Kegiatan selanjutnya?  Haem…, ada bumbu kisah-kasih dan kasih – kisah yang dinikmat secara bersama:/ Lalu meracik bumbu-bumbu asmara untuk menjadikannya hidangan disantap malam kita//. Kembali Saudara kita Jumini, hadirkan  majas-majas segarnya. Luar biasa!

 Bait kedua, kepada kita sebagai penikmat, disodori  fakta: / Awalnya aku hanya mengira itu semua semu,…//. Lalu kita bertanya,” Mengapa demikian?”/ Ternyata, sebab hadirmu yang hanya sebatas bisik-bisik semilir dari tanah pesisir//. Begitu segarnya majas yang diangkat Saudara Jumini. Sampai di sini, kita sebagai penikmat pun memperoleh hikmah, ternyata selain cinta sejati ada juga cinta yang semu. Duga, boleh, tapi jangan menuduh! Ini salah satu hikmah yang perlu dipetik penikmat.

Apa yang diharapkan Saudara Jumini dalam puisi prosaisnya ini? Dalam gumamannya kita akan membaca bahwa yang dibutuhkan adalah cinta sejati./ “Masihkah, ada musim yang dapat kita lalui berdua?”, batinnya//. Tentu ada secuil harapan tokoh ‘aku’ di sini, untuk :/ Menganyam kisah di penghujung masa, sebab kita adalah pecinta sejati, yang tak pendar oleh gemerlap bintang di angkasa//.

Dugaan penulis. Saudara kita Jumini, pernah membaca pikiran W.W.Broadbont dalam bukunya, How to be Loved’. Isinya, antara lain : mengupas hubungan yang mengasyikkan antara cinta dan rasa kebersamaan dengan dikotomi yang cukup ekstrim. Rasa kebersamaan dalam cinta, menurutnya ada dua macam, yaitu ‘actual belonging’ atau kebersamaan sejati dan ‘quasy belonging’ atau rasa kebersamaan semu.

Jika dicermati secara saksama, maka ‘actual belonging’ atau kebersamaan sejati itu tidak lain dari nyanyian harmonis dari kejujuran dan tanggung jawab. Kejujuran dalam artian bahwa mampu berbuat tidak manipulatif . Dan tanggung jawab yang menurut Ir.Poedjawijatna ,berarti mampu mengatakan kepada dirinya sendiri bahwa tindakannya itu baik.

Terlepas dari itu, tokoh ‘aku’ ternyata masih setia dengan komit yang sudah dirajut dengan tali kasih.  Karena itu, apa pun kendalanya, tokoh ‘aku masih setia./ Aku masih setia di sini, sayang, hingga masa yang kau janjikan tiba, dan kita kembali menjadi pemahat cinta paling legendaris//. Tokoh ‘aku dengan bermodal cinta sejati karena ada kebersamaan sejati, dia berharap agar/menjadi pemahat cinta paling legendaris//. Sebuah premis ( = pernyataan yang mendasari sebuah pendapat) mendukung rasa kebersamaan sejatinya dengan tokoh ‘dia’/engkau’.

Boleh jadi yang yang menjadi pertanyaan adalah,”Manakah yang lebih utama dalam rasa kebersamaan, cintakah atau harga diri? “. Dan, “Kebersamaan mana yang patut kita panuti dalam menjalankan hidup dan kehidupan ini?” Lalu,”Hal-hal apa saja yang perlu kita jadikan bahan masukan dalam mendukung kebersamaan sejati (cinta sejati) untuk dikonsumsikan dalam keseharian?’ Jawabannya, salah satunya adalah, cinta itu hadir harus berdampingan dengan harga diri. Sebab kalau hanya cinta saja, belumlah cukup. Butuh menjaga harga diri! Seperti diungkapkan Saudara kita Jumini dalam karyanya di atas/ Aku masih setia di sini, saying//. Iya,sebuah pernyataan bermakna, apalagi kalau bukan,  menghadirkan kebersamaan sejati.(***)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jika Kau Ingin Menangis, Ya Menangislah.

Kami Bukan Sekedar Sahabat Atau Teman Belaka!

Sombong, Ngakunya Udah Ngak Butuh Lagi Masyarakat Sekarang Masih Butuh Juga.