Melirik Makna di Balik Ungkapan “Kalemboade”


Oleh Usman D.Ganggang

Dalam pertumbuhan dan perkembangan bahasa Indonesia, tidak sedikit sumbangan kata - kata dan ungkapan bahasa dari bahasa asalnya yakni bahasa Melayu (BM) , kemudian ditambah dengan kata- kata dan ungkapan bahasa Daerah (BD), dan bahasa Asing (BA) seperti bahasa Arab (BA), bahasa Inggris (Bing), bahasa Belanda (BB), bahasa Portogis, dan lain – lain sekedar contoh. 

Bahasa Bima (BB) yang merupakan salah satu bahasa daerah di Indonesia juga mempunyai ungkapan yang barangkali dapat diangkat ke permukaan. Salah satu ungkapan dari bahasa Bima (BB) adalah kalemboade yang frekuensi penggunaannya oleh pemakai bahasa Bima (BB) sangat tinggi, bahkan di daerah tetangganya, ungkapan kalemboade sangat dominan dimanfaatkan. Sayang bagi mereka yang di luar Bima, menafsirkan makna idiom/ungkapan kalemboade tidak lebih dari “bersabar” saja.

Mengingat pemahaman frekuensi penggunaan makna tersebut t, penulis mencoba melakukan penelitian sederhana . Hasilnya, makna kalemboade, ternyata beragam.Keragaman itu terjadi, setelah ungkapan kalemboade itu dikontekskan. Untuk lebih jelasnya, berikut ini dideskripsikan hasilnya. 

Dalam kehidupan sehari – hari, pemakaian bahasa oleh pengguna bahasa tidak terlepas dari situasi berbahasa.Maksudnya, demikian Tarigan dalam bukunya berjudul Pendidikan Bahasa Indonesia (1992: 551), adalah perkataan yang kita ucapkan harus dapat menyampaikan gagasan yang akan kita ungkapkan. Kadang – kadang pengungkapan itu tidak secara langsung, melainkan dengan menggunakan bahasa – bahasa kias sehingga unsur bahasa yang terdapat dalam rangkaian kalimat itu tidak lagi ditafsirkan dengan makna unsur – unsur yang membentuk kalimat itu. Di sini, baik pembicara atau penyampai pesan ( = komunikator) maupun penerima pesan atau pendengar ( = komunikan), harus mampu menggunakan sekaligus menafsirkan diksi ( = pilihan kata) yang terdapat dalam kalimat.

Selanjutnya, Tarigan menjelas, penggunaan bahasa yang demikian itu adalah pemakaian kata – kata dalam: idiom, peribahasa, pemeo, atau majas. Idiom sering disebut juga ungkapan. Menurut Harimurti Kridalaksana (1980) yang dikutip Tarigan, menjelaskan: (1) idiom adalah konstruksi unsur – unsur yang saling memilih, masing – masing anggota mempunyai makna yang ada hanya karena bersama yang lain. Contoh: sejalan dengan dalam kalimat: Sejalan dengan pemikiran Anda, saya berkesimpulan bahwa yang mencuri adalah tukang kebun di sebelah. (2) Idiom adalah konstruksi yang maknanya tidak sama dengan gabungan makna anggota- anggotanya. Contoh kambing hitam, dalam kalimat: Dalam peristiwa itu, HANSIP menjadi kambing hitam.

Berdasarkan unsur – unsur pembentuknya, idiom dapat berupa: (1) idiom yang terdiri dari bagian tubuh, misalnya: berat hati = kurang suka melakukan; jatuh hati = terkena asmara, cinta. (2) idiom yang terdiri dari kata indera. Contoh : kritik pedas =teguran yang keras; mandi basah = berbulan madu. (3) idiom yang terdiri dari nama warna. Contoh: lampu hijau = mendapat izin; jago merah = api; dan lain – lain.

Ungkapan seperti tersebut di atas, terdapat juga dalam Nggahi Mbojo atau Bahasa Bima (NB/BB). Salah satu dari sekian ungkapan itu, yang disajikan penulis kali ini adalah ungkapan kalemboade. Ungkapan ini sengaja diangkat bukan tanpa alasan. Kalau dicermati dengan njelimet, maka ungkapan kalemboade, sangat akrab digunakan pengguna Nggahi Mbojo atau Bahasa Bima(NM/BB)). Bagaimana tidak? Dalam berkomunikasi, warga Dou Mbojo, selalu mengungkapkan ungkapan tersebut, boleh dikatakan sebagai proses awal berkomunikasi, iya setiap awal pembicaraan selalu dimulai dengan kalemboade.

Seperti dalam Bahasa Indonesia, ungkapan sering terbentuk dari berbagai unsur. Bahasa Bima pun demikian, katakana saja , idiom atau ungkapan yang terbentuk dari unsur bagaian tubuh manusia, misalnya: jatuh hati (Bahasa Indonesia) sedangkan dalam Bahasa Bima, kata jatuh hati itu adalah mabu ade; buah hati (Bahasa Indonesia) sedangkan dalam Bahasa Bimanya adalah : do’u ne’e; dan masih ada lagi contoh lain seperti ungkapan dari unsur indera: mandi basah (Bahasa Indonesia) sedangkan bahasa Bima : deu raso.

Bagaimana ungkapan kalembode itu sendiri ? Entah sejak kapan, ungkapan kalemboade digunakan masyarakat Mbojo (Bima), kurang tahu, penulis. Tapi yang jelas, ungkapan kalemboade selalu mewarnai kegiatan alur berkomunikasi dalam keseharian warga Dou Mbojo (orang Bima). Frekuensi penggunaannya pun , boleh dikatakan, tiada hari tanpa ada ungkapan kalemboade , bahkan tiada jam tanpa ada kalemboade.

Sekedar contoh, ketika kita makan makanan yang amat lengkap : empat sehat lima sempurna sekalipun, penyuguh makanan selalu mengawali kegiatan makan, dengan mengatakan, “Kalemboade makan apa adanya”(= kalemboade ngaha wati tantu nde atau ngaha be ma wara) . Di sini, maknanya adalah merendahkan diri (litotes).

Iya, apalagi kalau makanan yang disuguhkan misalnya kurang memenuhi menu yang diharapkan, ungkapan kalemboade malah diulang-ulang diungkapkan. (1) “Kalemboade, ngaha hangga sa toi”(= makanan tersedia hanya sedikit). (2) Kalemboade, kalemboade ngaha be ma wara! Atau kalemboade, mboto kangampu ta, wati tantu ngaha re be poda ma wara. Artinya, banyak maaf karena makanan itu, apa adanya). Makna yang dikandung dalam dua kalimat di atas, berarti : memohon maaf, karena mungkin tidak kena salera.

Nah, kalemboade itu sendiri, apa sih artinya? Secara sederhana, dapat dikatakan maknanya: bersabar. Itu dipahami karena ungkapan itu terbentuk dari kata kalembo = sabar; ade = hati. Jadi, kalemboade artinya bersabar yang bermula dari keikhlasan hati –nurani . Namun demikian, dalam penerapannya oleh pengguna nggahi Mbojo ( bahasa Bima) justeru ungkapan kalemboade mengandung banyak makna. Artinya, pemanfaatan ungkapan kalemboade bergantung pada situasi dan kondisi pengguna bahasa. Benar kata ahli bahasa, kata atau ungkapan belum punya arti, jika belum dikontekskan. Artinya, kata atau ungkapan yang digunakan pemakai bahasa baru mempunyai artinya jika dirangkaikan dalam bentuk kalimat atau dirangkaikan dalam bentuk wacana.

Setelah diadakan penelitian sederhana, penulis menemukan sekian makna ungkapan kalemboade itu. Dan ternyata, tafsiran kita terhadap ungkapan kalemboade, memang beragam maknanya. Untuk tidak sekedar diperbincangkan, berikut ini, disajikan hasilnya, antara lain, sebagai berikut:

Pertama, kalemboade bermakna: tidak mudah putus-asa. Ketika kita mengalami kesulitan, seperti kekurangan uang untuk membayar SPP, orang dekat dengan kita selalu menggunakan ungkapan,” Kalemboade ari e, kata orang bijak, sabar akan menjadi subur”. Atau kalau seorang teman tertimpa musibah kematian, orang dekat dengannya selalu berungkapan, kalemboade setiap orang pasti mati. Dalam nggahi Mbojo: “Kalemboade,ari e, aina ipi nangi, ndai ta manusia ke di ma made ntene” = “Tidak usah putus asa ( menangis) adik, karena kita manusia ini, semuanya mati!”

Kedua, kalemboade bermakna: tidak tergesa-gesa. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa banyak di antara kita dalam menyelesaikan sebuah pekerjaan dengan cepat selesai. Rasanya, kita tidak mau menyelesaikan sesuatu dengan sedikit demi sedikit. Iya, akibatnya, hasilnya kurang memuaskan. Kepada orang yang berkerja dengan tergesa – gesa itu, disarankan oleh orang lain dengan ungkapan, “Kalemboade teman, kita tidak bisa menanrgetkan suatu pekerjaan dalam tempo yang singkat”. Di sini artinya, jangan tergesa dalam menyelesaikan sebuah pekerjaan.

NggahiMojo,”Kalemboade lenga e, ai na ipi hura-hara krawi e, nari – nari mpa!”Artinya, Jangan terlalu terburu – buru (hura – hara) teman, pelan – pelan saja !”

Ketiga, kalemboade bermakna : teliti dan tekun.Dalam hal belajar misalnya, kita disarankan agar selalu memperhatikan dan memahami sepenuhnya tentang apa yang kita pelajari. Belajar tidak setengah – setengah, atau sepotong – sepotong. Belajar harus sepenuh hati. Oleh karena itu, biasanya orang dekat kita mengatakan,” Kalemboade ari belajar itu butuh kerja ekstra keras. Dalam nggahi Mbojo,”Kalemboade ari e, tanao ka poda ade. Artinya, belajar lebih giat lagi!

Keempat, kalemboade bermakna jengkel atau marah.Ketika kita menagih utang kepada teman, kemudian teman kita selalu menunda – nunda pembayarannya, maka terkadang kesabaran kita ada batasnya. Maka tanpa disadari emosional kita meledak dalam seketika. Kalemboade ya, sambil menunjuk –tunjuk jemari kita di depan mata seseorang. Dalam nggahi Mbojo,”Kalemboade , cina e, ndaim k e ke susah podaku, nahu ke, nggee nggongga nahu ke senai – naiku! Artinya, Banyak maaf teman, setiap hari saya datang, hanya untuk mendengarkan ocehan kesabaran kamu!”

Kelima, kalemboade bermakna: merendahkan diri. Pada waktu kita menyuguhkan sesuatu kepada teman , katakan saja memberikan hadiah yang mahal harganya, tapi justeru kita mengatakan kalemboade hanya itu yang bisa kita berikan. Jauh dari lubuk hati si penerima mengatakan wah…, sudah bagus apalagi mahal harganya malah dikatakan kalemboade. Di sini dipentingkan adalah untuk merendahkan diri .

Dalam nggahiMbojo (Bahasa Bima), kita temukan ungkapan,”Kalemboade, ake mpa ma wara!” Artinya, Banyak maaf, ini saja yang ada dari kami!”

Keenam, kalemboade bermakna: mohon maaf. Dalam keseharian, kita terkadang terlambat datang pada suatu pertemuan. Oleh karena itu, kita selalu meminta maaf atas keterlambatan kita. Dalam nggahi Mbojo, biasanya diungkapkan demikian,” Kalemboade, mada wara sengiri ke “, = Banyak maaf saya agak terlambat.

Ketujuh, kalemboade bermakna: tegur – sapa. Tegur – menegur adalah pola komunikasi yang sangat bermanfaat bagi sesama, begitupun di Bima, tegur – sapa ini digunakan dalam kehidupan sehari - hari. Misalnya, “Kalemboade, ampo ja eda angi Kamana e.Artinya, “Banyak maaf kita ini baru bertemu”.

Menyumbang kata atau istilah serta ungkapan demi pertumbuhan dan perkembangan Bahasa Indonesia adalah sebuah keniscayaan. Bagaimanapun juga, bahasa Indonesia secara historis berasal dari Bahasa Melayu (BM) ditambah dengan Bahasa daerah (BD) serta masukan Bahasa Asing (BA). Nah, Bahasa Bima (BB) merupakan salah satu Bahasa Daerah ( BD) yang berada di negeri ini, mengapa kita tidak berusaha mengangkat beberapa kata atau ungkapan demi kemajuan Bahasa Indonesia? Iya, menjadi tugas kita semua warga Dou Mbojo (orang Mbojo/Bima), baik yang berada di Bima maupun di luar Bima, untuk mencari makna lain di balik ungkapan kata – kata nggahi Mbojo dan salah satunya adalah kalemboade. Penulis yakin, masih banyak makna lain yang perlu diungkapkan dari ungkapan kalemboade.Dan ini merupakan PR untuk warga Dou Mbojo, siapa lagi kalau bukan kita sebagai pemilik ungkapan kalemboade?

Sumber: Wawancara bersama: Drs. H. Yusuf HM. Said, Drs.Dahlan, MA ; dan M.Ruslan, SH.M.Si(**)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jika Kau Ingin Menangis, Ya Menangislah.

Kami Bukan Sekedar Sahabat Atau Teman Belaka!

Sombong, Ngakunya Udah Ngak Butuh Lagi Masyarakat Sekarang Masih Butuh Juga.